‘Menggelandang’ di
Jamarot
Oleh : Hj Emi Sudarwati *)
‘Ratusan’ kali saya
mendatangi saudara dan kerabat yang pulang haji. Tapi sama sekali tidak pernah
mendengar cerita tentang ini. Seru pakai banget, menurut saya. Benar-benar
belajar hidup ‘susah’. Memahami betapa beratnya kehidupan manusia yang tidak
memiliki tempat tinggal.
Singkat cerita. Seharusnya
rombongan kami mendapat tempat bermalam atau mabit di Mina Jadid. Sangat
jauh dari Jamarot. Oleh karena itu, ketua rombongan memutuskan, bahwa
kami pulang ke hotel saja. Karena jarak jamarot dengan hotel kami sangat dekat.
Namun kewajiban mabit di Mina juga harus terlaksana. Jika tidak, maka akan kena
dam (denda).
Singkat cerita.
Sesudah salat ashar, rombongan kami menuju ke Mina untuk mabit. Seperti jamaah
lain, semua mengambil tempat di sekitar jamarot. Dengan harapan, waktu melempar
jumroh tidak terlalu jauh. Selain itu, tempatnya dekat dengan hotel kami.
Sehingga, usai melewati tengah malam, bisa langsung pulang dan tidur di hotel.
Selama dua malam mabit
di Mina, tampak begitu berat. Karena kami semua benar-benar persis dengan ‘gelandangan’.
Duduk dan tiduran di tepi-tepi jalan dan trotoar. Belum sampai lima menit
duduk, ada suara sirine dari mobil para laskar yang mengusir kami. Suaranya
sangat keras dan menakutkan. "Thoriq... thoriq... ya haji...
pergi... pergi...."
Kami berhamburan
seperti gelandangan dan pedangan asongan yang kena razia satpol PP. Mencari
tempat lain untuk sekedar duduk dan tiduran. Ya... masih saja di trotoar
pinggir jalan.
Saya sempat berfikir,
apakah ini gambaran perjuangan Nabi Muhammad dahulu kala. Selalu dikejar-kejar
dan diusir saat beribadah. Entahlah.... tapi ini adalah sekolah kehidupan. Banyak
pelajaran penting yang bisa kita petik dari sana. Terutama tentang kepedulian
terhadap sesama. Saat kami capek berlari mondar-mandir, tiba-tiba ada seseirang
yang memberi kami sekotak makanan. Tentu saja menu ala Arab Saudi, nasi kebuli. Wao... rasanya aneh banget. Tapi karena lapar, makanan-makanan itu habis
juga.
Dua malam kami pontang-panting
hanya untuk sekedar mencari tempat duduk dan beristirahat hingga lewat tengah
malam. Namun karena semua kami lakukan bersama banyak orang, rasanya
benar-benar mantap. Oh... inilah nikmatnya berhaji. Bisa merasakan derita
sesama.
Bersama KBIH Masyarakat
Madani kita bisa beribadah secara mandiri. Terimakasih atas semua pengalaman berharga
ini. Matur nuwun kawan kawan, matur nuwun Pak Kosim dan para pembimbing
semuanya. Mohon maaf atas semua khilaf.
Semoga mabrur.
Aamiin....
Semoga kita selalu sehat.
*) Jamaah haji Madani 2018
Pernah terbit September 2018
No comments:
Post a Comment